Pasal2. Jumlah Panitia Pemilihan Kepala Desa Gapura Barat sebanyak 11 (sebelas) orang, dan dapat dibantu oleh petugas yang ditunjuk Panitia serta mendapatkan Surat Tugas dari Ketua Panitia. Kepanitiaan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) susunannya terdiri dari: Ketua merangkap anggota. KBRN Kubu Raya : Slogan Gerakan Perubahan yang merupakan Visi bagi Kepala Desa Kuala Dua Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat (Kalbar) Abbas. S.Ag menjadi motivasi baginya untuk langsung bekerja. (17/12/2019) bersama 59 Kepala Desa lainnya hasil Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak tahun 2019 yang berlangsung PemilihanKepala Desa , Kami selaku Panitia Pemilihan Kepala Desa Telah melaksanakan Rapat Pleno Penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilihan Kepala Desa Tahun 20.., dengan hasil sebagai berikut : DAFTAR PEMILIH SEMENTARA N O DUSUN JUMLAH PEMILIH KET. LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH JUMLAH A. DAFTAR PEMILIH TAMBAHAN N O DUSUN JUMLAH PEMILIH KET. Langkat AnalisNews - Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, akan digelar pada 19 Juni 2022 mendatang. 2022 dengan slogan, "Siap Melayani Masyarakat," ini sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya dalam memimpin warga. Ia mengetahui betul permasalahan secara detail yang ada di Desa Perkebunan Cililinku Singajaya - Karena masa jabatan Kepala Desa (KADES) singajaya akan habis pada 16 September 2021, maka dari itu Desa Singajaya akan melaksanakan pilkades. Pemerintah Desa Singajaya mengadakan pra penetapan pemilihan panitia pilkades agar proses pemilihan nanti berjalan dengan lancar. Site Gratuit De Rencontres Sans Inscription. This study aimed to analyze the portrait, shape, and strengthening of the voting behavior of villagers and the political education of young and old villagers in the election of village heads. This study used a case study qualitative approach with observation, interviews, and documentation as data collection techniques. The results showed that the portrait of villager voting behavior in the village head election was seen through the use of voting rights, material and physical support, and participation in village deliberations. The form of the voting behavior of villagers in the village head election is included in the categories of novice voters, sawing voters, floating masses, and permanent voters. Strengthening the voting behavior of villagers in the election of village heads was carried out through socialization carried out by village officials, contestants, volunteers, churches, and the committee of the voting group. The political education of young villagers in the election of village heads was obtained from various online media, while the older group received political education from print media. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Copyright © 2021 Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan290290PERILAKU PEMILIH WARGA DESA GOLONGAN MUDA DAN GOLONGAN TUA DALAM PEMILIHAN KEPALA DESAVOTER BEHAVIOR OF YOUNG AND OLD GROUP VILLAGERS IN VILLAGE HEAD ELECTIONSSaverinus Rio Jama*, Suko Wiyono, Nuruddin HadyProgram Studi Magister Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Negeri MalangJalan Semarang Nomor 5 Malang 65145, IndonesiaAbstract this study aimed to analyze the portrait, shape, and strengthening of the voting behavior of villagers and the political education of young and old villagers in the election of village heads. This study used a case study qualitative approach with observation, interviews, and documentation as data collection techniques. The results showed that the portrait of villager voting behavior in the village head election was seen through the use of voting rights, material and physical support, and participation in village deliberations. The form of the voting behavior of villagers in the village head election is included in the categories of novice voters, sawing voters, oating masses, and permanent voters. Strengthening the voting behavior of villagers in the election of village heads was carried out through socialization carried out by village ofcials, contestants, volunteers, churches, and the committee of the voting group. The political education of young villagers in the election of village heads was obtained from various online media, while the older group received political education from print kajian ini bertujuan menganalisis potret, bentuk, dan penguatan perilaku pemilih warga desa serta pendidikan politik warga desa golongan muda dan golongan tua dalam pemilihan kepala desa. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis studi kasus dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi sebagai teknik pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potret perilaku pemilih warga desa dalam pemilihan kepala desa tampak melalui penggunaan hak suara, dukungan materi dan sik, serta partisipasi dalam musyawarah desa. Bentuk perilaku pemilih warga desa dalam pemilihan kepala desa termasuk dalam kategori pemilih pemula, pemilih pindah haluan, massa mengambang, dan pemilih permanen. Penguatan perilaku pemilih warga desa dalam pemilihan kepala desa dilakukan melalui sosialisasi yang dilakukan oleh aparatur desa, kontestan, relawan, gereja, dan panitia kelompok penyelenggara pemungutan suara. Pendidikan politik warga desa golongan muda dalam pemilihan kepala desa diperoleh dari berbagai media online, sedangkan golongan tua memperoleh pendidikan politik dari media ARTIKELRiwayat ArtikelDiterima 27 November 2020Disetujui 26 Desember 2021Keywordsvoter behavior, political education, village head electionKata Kunci perilaku pemilih, pendidikan politik, pemilihan kepala desa* KorespondensiE-mail saverinusriojama Volume 6, Nomor 2, Halaman 290-301 ILMIAH PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAANISSN 2528-0767 e-ISSN 2527-8495 Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 6, Nomor 2, Desember 2021Copyright © 2021 Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan291PENDAHULUAN Perilaku pemilih berdasarkan pendapat para pakar ilmu politik memiliki esensi sebagai suatu tingkah laku individu dalam pemungutan suara terutama pada kegiatan pemilihan umum pemilu. Pemimpin yang dipilih di Indonesia dalam konteks demokrasi tidak hanya dianggap sebagai persoalan politik, ekonomi, atau sosial, akan tetapi juga berkaitan dengan nilai-nilai etis seperti kesopanan dari kandidat sebagai pertimbangan pilihan yang dapat mengubah perilaku pemilih Fuad, 2014. Studi mengenai perilaku pemilih secara eksplisit membahas mengenai alasan dan faktor yang memengaruhi seorang pemilih satu partai atau kandidat tertentu yang terlibat dalam kontestasi politik. Perilaku pemilih ditinjau dari pemilihan kepala desa pilkades merupakan konteks demokrasi yang paling nyata di tingkat desa. Perilaku pemilih selain dipandang sebagai tingkah laku individu juga diartikan sebagai pendidikan pemilih. Hal ini berkaitan dengan penyebaran informasi dan materi yang bertujuan memberi gambaran kepada pemilih tentang hal-hal spesik atau mekanisme dari proses pemilihan Khoban, 2019. Tujuan perilaku pemilih dalam pemilu yaitu memberikan informasi penting untuk lembaga Pemilu dan pembuat kebijakan agar mempertimbangkan pilihan kebijakan yang efektif di masa yang akan datang Mann & Bryant, 2020. Pengetahuan politik yang kurang dapat menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan kriteria untuk calon pemimpin yang akan dipilih Dupont dkk., 2019. Praktik pemilu banyak dimanipulasi sedemikian rupa sehingga dapat mengakibatkan konik yang mampu mengurangi legitimasi Berman dkk., 2019. Perilaku pemilih dipengaruhi oleh pengetahuan politik yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menentukan kriteria pemimpin yang kajian yang pertama yaitu tentang perilaku pemilih warga negara melalui partisipasi politik. Partisipasi politik yang dilakukan melalui pemilu dapat menyebabkan rendahnya jumlah partisipasi pemilih, sehingga pelaksanaan pemilihan serentak menjadi salah satu solusi dari persoalan tersebut Garmann, 2017. Pemilu dalam demokrasi lama merupakan suatu kebiasaan yang diperoleh secara bertahap melalui proses yang dimulai dari bentuk pemberian suara, yang kemudian dijadikan sebagai salah satu sumber daya warga negara dalam partisipasi politik dalam mengidentikasi pengetahuan politik Czesnik, Zerkowska-Balas, & Kotnarowski, 2013. Pemilu serentak dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan jumlah partisipasi politik. Fokus kajian yang kedua yaitu tentang faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih warga negara melalui partisipasi politik. Pemangku kepentingan seperti politisi, praktisi, dan pembuat kebijakan memanfaatkan berbagai media untuk melakukan pemasaran politik diantaranya yaitu melalui berita dan wacana. Hal ini dijadikan sebagai salah satu kekuatan politik yang mampu mempengaruhi perilaku pemilih Colladon, 2020. Perilaku pemilih juga dipengaruhi oleh kecerdasan emosional, salah satu contohnya terlihat dari sifat politik negatif dari seorang kandidat yang dapat mengubah persepsi politik para pemilih Utami, Bangun, & Lantu, 2014. Media dapat dimanfaatkan sebagai salah satu perantara sosialisasi politik yang kajian yang ketiga yaitu tentang pengetahuan politik warga negara. Warga negara golongan tua dan golongan muda memiliki perilaku memilih yang berbeda satu sama lain, karena disebabkan oleh pengalaman politik yang berbeda antara keduanya Wang, 2019. Kategori golongan muda memiliki kisaran usia antara 12 hingga 25 tahun, sedangkan kategori golongan tua memiliki kisaran usia di atas 25 tahun Li, 2020. Pertimbangan pilihan dalam konteks pemilu seperti pilkades selain dipengaruhi oleh nilai etis seperti kesopanan dan integritas dari kandidat yang bersangkutan, tetapi juga cenderung dipengaruhi oleh kedekatan emosional antara pemilih dan kandidat tersebut Fuad, 2014. Perilaku pemilih golongan muda dan golongan tua dipengaruhi oleh pengalaman dan orientasi yang berbeda antara kedua golongan pemilih saat ini dapat diidentikasi melalui keterlibatan warga negara dalam aktivitas politik, salah satunya Pilkades. Hal ini dipandang sebagai keprihatinan warga negara terhadap keberlangsungan negara sebagai representasi dari hasil penerapan kebijakan sebelumnya Cheung, Ma, & Chan, 2019. Tuntutan pasca reformasi yang menjadi perhatian publik yaitu demokratisasi politik yang ditandai dengan lahir dan menguatnya peranan partai politik dan masyarakat sipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Perdana, 2019. Perilaku Copyright © 2021 Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan KewarganegaraanPerilaku pemilih warga desa ... 292pemilih juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang memainkan peran penting untuk membentuk gagasan dan keyakinan seseorang dalam menentukan pilihan politik Li, Xi, & Yao, 2019. Upaya demokratisasi politik tidak terlepas dari aspek pendidikan, terutama upaya pendidikan politik yang diterapkan melalui partai politik. Perilaku pemilih seseorang dalam suatu pemilihan dipengaruhi oleh kepribadian yang berdampak pada hasil pemilihan. Kepribadian tersebut diantaranya yaitu karakteristik pendidikan, gender, usia, keterbukaan pengalaman, dan emosional Scott & Medeiros, 2020. Partisipasi dalam konteks politik berkaitan dengan perilaku pemilih yang terfokus pada pemilihan di suatu negara secara eksplisit Ciornei & Ostergaard-Nielsen, 2020. Suara partai pada berbagai implikasi pemilihan dipengaruhi oleh tingkat partisipasi yang rendah, perbedaan potensial dalam preferensi partai, dan jumlah pemilih Remer-Bollow, Bernhagen, & Rose, 2019. Partisipasi pemilihan juga dipengaruhi oleh asas kedaerahan seperti tur geogras, fungsional, dan sosio demogras Lappie & Marschall, 2018. Perilaku pemilih menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi hasil pemilihan. Partisipasi politik saat ini mengalami peningkatan yang signikan sebagai salah satu bentuk kemajuan demokrasi. Perilaku pemilih dapat diukur dengan beberapa kriteria, diantaranya yaitu partisipasi pemilih, pemilihan tidak sah, orientasi, dan kepercayaan pada parlemen Gaebler, Potrafke, & Roesel, 2020. Variasi pada level individu dan agregat tingkat partisipasi pemilih telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir Cancela & Geys, 2016. Pemilu menawarkan momen istimewa terutama dalam demokrasi perwakilan Hooghe & Stiers, 2016. Kemajuan demokrasi yang ditandai dengan peningkatan partisipasi politik menjadi acuan dalam pelaksanaan suatu pemilihan. Pembinaan warga negara sebagai salah satu pihak yang terlibat secara kritis dalam suatu pemilihan merupakan pilar utama pembangunan dan demokrasi. Hal tersebut menjadi bukti terkait peran, fungsi, dan tantangan yang dihadapi masyarakat sipil dalam upaya untuk menetapkan ruang publik demokrasi Hammett & Jackson, 2018. Partisipasi politik dibagi menjadi tiga kategori, diantaranya yaitu partisipasi suara, partisipasi sukarela seperti kegiatan sipil lembaga swadaya masyarakat LSM, serta partisipasi campuran Fan & Yan, 2019. Pengembangan kompetensi sipil merupakan salah satu kompetensi utama bagi warga negara, agar mampu bertindak secara demokratis serta berpartisipasi secara aktif dalam lingkup kehidupan sosial dan politik Predescu & Darjan, 2010. Partisipasi aktif merupakan bagian dari kompetensi sipil yang harus dimiliki oleh setiap warga negara untuk menunjang pelaksanaan ini memiliki perbedaan dengan kajian terdahulu karena dilakukan berbasis perilaku pemilih sebagai bentuk partisipasi politik golongan tua dan golongan muda dalam pilkades. Kajian terdahulu berfokus pada beberapa aspek, diantaranya yaitu peranan tokoh agama dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat, pendidikan pemilih, demokrasi lama, keterlibatan sipil, peran media dalam demokrasi, dan pengalaman politik. Kajian ini dilakukan dengan lebih eksplisit mengenai potret, bentuk, dan penguatan perilaku pemilih serta penerapan pendidikan politik warga negara di tingkat yang digunakan dalam kajian ini yaitu kualitatif deskriptif dengan jenis studi kasus. Lokasi penelitian ini yaitu di Desa Orong Kecamatan Welak Kabupaten Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur. Subjek dalam penelitian ini adalah golongan tua, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan golongan muda perempuan dan laki-laki di desa. Pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi kualitatif secara fundamental bersifat naturalistik, yang secara natural diterapkan pada setiap pelaku dalam suatu fenomena yang bersangkutan Densin & Lincoln, 2009. Observasi yang dilakukan dalam kajian ini yaitu observasi partisipatif, observasi terus terang, dan observasi terstruktur. Teknik wawancara dalam kajian ini dilakukan secara terstruktur, yang dilaksanakan secara terencana dengan berpedoman pada kisi-kisi pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya Creswell, 2016. Wawancara dilakukan pada beberapa informan, diantaranya yaitu golongan muda, golongan tua dari tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah desa. Dokumentasi yang dimaksudkan dalam kajian ini yaitu berkaitan dengan data, dokumen, le, audio, dan gambar Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 6, Nomor 2, Desember 2021Copyright © 2021 Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan293yang dapat menjawab rumusan masalah. Analisis data dilakukan secara interaktif melalui tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verikasi data. HASIL DAN PEMBAHASAN Potret Perilaku Pemilih Warga Desa Golongan Muda dan Golongan Tua dalam Pemilihan Kepala DesaPemilihan Kepala Desa pilkades yang dijelaskan dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 dilakukan secara serentak satu kali atau dapat juga dilakukan secara bergelombang. Pasal 1 ayat 13 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 menjelaskan bahwa pemilih adalah penduduk suatu desa yang telah memenuhi persyaratan untuk menggunakan hak pilih dalam pilkades. Perilaku pemilih dalam pilkades ditinjau dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa secara spesik berkaitan dengan kewenangan desa. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan masyarakat desa, serta pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. Pilkades menjadi salah satu bagian dari kerangka mekanisme demokrasi di Indonesia. Pelaksanaan pilkades didasarkan pada lima hal, yaitu a respon terhadap tuntutan aspirasi masyarakat, b lahirnya perubahan pada level kelembagaan yang mendorong perubahan secara normatif, c sebagai proses pembelajaran demokrasi pada tingkat lokal, d salah satu spirit dalam penyelenggaraan dan aktualisasi hak otonomi daerah yang berupa hak memilih dan dipilih secara langsung, e sebagai proses pendidikan kepemimpinan bangsa pada setiap strata, dengan tujuan menciptakan kepemimpinan yang kuat Riung, 2019. Pilkades perlu diselenggarakan untuk menunjang sistem demokrasi di Indonesia, khususnya di wilayah perilaku pemilih warga desa berkaitan dengan gambaran nyata tentang aktivitas politik warga desa dalam pilkades. Kata potret dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI diartikan sebagai gambaran atau lukisan dalam bentuk paparan. Warga desa sebagai seorang pemilih sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai aspek ketika menentukan pilihan dalam kontestasi pilkades. Perilaku pemilih baik golongan muda maupun golongan tua dalam pilkades dipengaruhi oleh beberapa indikator, antara lain budaya politik, pendidikan politik dan informasi politik, serta faktor pemilih itu sendiri. Potret perilaku pemilih golongan tua dalam partisipasi politik terlihat dalam pemberian hak suara, dukungan materi, sik, serta keikutsertaan dalam musyawarah desa. Tokoh agama dalam hal ini pastor paroki juga ikut berpartisipasi dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan rohani yang berkaitan dengan upaya sosialisasi politik. Informasi politik yang diperoleh warga desa pada umumnya masih bersifat manual, selain itu pelaksanaan birokrasi di desa juga tergolong rendah dan kurang sistematis. Aparat desa juga banyak yang kurang memahami sistem kerja terkait pelaksanaan tugas pokok dan fungsi masing-masing bidang. Hal ini terbukti dari tidak adanya surat keputusan ketika pemberhentian dan pengangkatan seksi-seksi di pemerintahan desa. Hal lain seperti tugas membuat laporan, penyuratan, memimpin sidang, menyusun program kerja, sampai pada program kerja setiap bidang sebagian besar hanya dikerjakan oleh kepala desa dan sekretarisnya pemilih warga desa dipengaruhi oleh faktor fanatisme kesukuan dan kedekatan emosional yang masih melekat dalam diri masyarakat. Warga desa cenderung memilih kandidat kepala desa yang berasal dari suku sama atau satu garis keturunan. Hal ini tentu menimbulkan aktivitas politik golongan, karena memilih berdasarkan kelompok sosial dan norma-norma yang dianut Fahmi & Fauzi, 2020. Kandidat dalam pilkades dapat memperoleh kemenangan apabila anggota suku dari kandidat tersebut berjumlah banyak. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku pemilih yaitu kedekatan emosional antara kandidat dengan warga desa sebagai pemilih. Kandidat atau kontestan dengan pergaulan yang dianggap baik oleh warga desa menjadi faktor penunjang yang dapat menciptakan peluang sebagai kandidat terpilih. Praktik politik berbasis suku dan pertimbangan emosional pada dasarnya merupakan suatu paradoks dalam perilaku memilih warga desa. Hal ini dikarenakan ketika seseorang memilih kandidat atau calon kepala desa di luar basis sukunya, maka orang tersebut akan dianggap Copyright © 2021 Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan KewarganegaraanPerilaku pemilih warga desa ... 294menjadi musuh politik dalam keluarga satu sukunya. Fenomena tersebut tentu dapat memicu terjadinya konik horizontal antar keluarga, bahkan mampu menimbulkan konik dalam skala besar. Warga desa sangat mudah diadu domba oleh isu yang disebarkan oleh oknum calon kandidat kepala desa dan tim suksesnya, karena pada dasarnya pemahaman politik masyarakat desa masih belum pemilih dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, diantaranya faktor sosial, ekonomi, aliasi etnik, tradisi keluarga, keanggotaan dalam organisasi, usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, dan kelembagaan. Kategori dan faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih tersebut termasuk dalam pendekatan sosiologis. Potret perilaku pemilih warga desa secara teoritis termasuk dalam kategori pemilih tradisional. Pengaruh kelompok sosial dalam studi voting behavior memiliki dua variabel, yaitu variabel predisposisi sosial ekonomi keluarga pemilih dan variabel predisposisi sosial ekonomi pemilih. Variabel tersebut memiliki hubungan yang signikan dengan perilaku memilih dalam diri seseorang. Perilaku pemilih yang bersifat kesukuan dan berdasarkan pada hubungan emosional subjektif emosional cenderung dipraktikkan oleh golongan tua dan golongan muda dengan tingkat pendidikan yang rendah. Golongan muda dikategorikan sebagai pemilih rasional karena mayoritas golongan muda berpendidikan well-educated hingga tingkat pendidikan tinggi. Pendidikan politik pada dasarnya bertujuan membentuk manusia menjadi partisipan yang bertanggung jawab secara politis melalui aktivitas yang terorganisir dan sistematis Hermawan, 2020. Pendidikan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan politik warga desa sebagai pemilih dalam politik berdasarkan pengalaman mampu meningkatkan pengetahuan warga desa, agar dapat berpartisipasi secara maksimal dalam suatu sistem politik. Warga negara diharapkan mampu menjalankan tugas untuk berpartisipasi secara maksimal dalam aktivitas politik, sebagai salah satu bentuk implementasi dari sistem kedaulatan rakyat dan demokrasi Kurniasih, 2020. Pendidikan politik warga desa dilakukan dengan merekonstruksi nilai-nilai yang telah ada menjadi suatu sistem nilai baru, dengan harapan dapat menciptakan proses transformasi pengetahuan dan pembentukan sikap menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Pendidikan politik warga desa meliputi dimensi kognitif, afektif, dan behavioristik yang dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Golongan tua dan golongan muda tentunya memiliki perilaku memilih yang berbeda satu sama lain, baik dari segi persepsi politik, perilaku, dan orientasi politik. Pendidikan politik memiliki makna strategis untuk membentuk pengetahuan politik ke arah cerdas dan kritis dengan melibatkan semua kalangan. Pendidikan politik yang kurang memadai dapat memengaruhi orientasi politik warga desa, khususnya golongan muda dan golongan tua. Golongan muda yang mayoritas memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dari golongan tua, cenderung berorientasi ke arah jangka panjang dalam bentuk pemberdayaan di segala perilaku pemilih warga desa juga dilaksanakan melalui pemberdayaan kelembagaan yang ada di desa. Hal ini menjadi salah satu wadah partisipasi warga dan pemerintahan desa dalam pembangunan, pemerintahan, serta kemasyarakatan dalam bentuk perencanaan, pengawasan, serta pelayanan Winarni, 2020. Faktor penghambat dalam proses pemberdayaan kelembagaan di desa diantaranya kurangnya informasi, pemanfaatan teknologi yang minim, kualitas sumber daya manusia dalam hal ini aparat desa yang masih rendah, serta kurangnya pemahaman terkait tugas pokok dan fungsi masing-masing aparat desa. Pemberdayaan kelembagaan muncul karena dua premis mayor, yaitu kegagalan dan harapan. Kegagalan berkaitan dengan pembangunan sedangkan harapan timbul karena adanya alternatif-alternatif pembangunan dengan konsep nilai-nilai demokratis, persamaan gender, antar generasi, dan pertumbuhan ekonomi Tjilen, 2019. Pemberdayaan kelembagaan sebagai wadah partisipasi pembangunan dan kemasyarakatan menjadi tugas utama pemerintah desa yang bersifat politik dan pemberdayaan kelembagaan pemerintah desa merupakan salah satu wadah pembangunan berkelanjutan terkait penataan birokrasi pemerintahan, yang dimulai dari struktur paling bawah yaitu desa. Pendidikan politik juga tidak terlepas dari sumber daya manusia, baik aparatur desa maupun masyarakat. Kendala yang sering dihadapi oleh pemerintahan desa yaitu minimnya sumber daya Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 6, Nomor 2, Desember 2021Copyright © 2021 Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan295manusia, sehingga menyebabkan pelaksanaan birokratisasi dan transparansi berdasarkan kaidah akuntabilitas menjadi terhambat. Hal ini menjadi faktor penghambat dalam proses digitalisasi dan partisipasi politik warga desa yang membutuhkan perhatian khusus dari berbagai pihak. Masyarakat yang berada dalam kelas bawah seperti warga desa perlu memperoleh pembangunan teknokrat dan pembangunan kemasyarakatan, karena modernisasi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dapat memperluas potensi partisipasi politik warga desa yang Perilaku Pemilih Warga Desa Golongan Muda dan Golongan Tua dalam Pemilihan Kepala DesaBentuk perilaku pemilih dapat dilihat berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologis, psikologis, dan pilihan rasional. Perilaku pemilih seseorang jika dilihat berdasarkan pendekatan sosiologis dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yaitu sosial ekonomi, aliasi etnik, tradisi keluarga, keanggotaan terhadap organisasi, usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan tempat tinggal. Pendekatan ini memandang agama, pendidikan, jenis kelamin, faktor geogras, budaya, dan faktor sosial sebagai suatu variabel yang dominan mempengaruhi seorang pemilih dalam menentukan pilihannya. Bentuk perilaku pemilih secara psikologis dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu ketertarikan seseorang terhadap partai politik serta orientasi terhadap calon atau kandidat dan isu-isu politik. Pendekatan pilihan rasional rational choice theory menjelaskan bahwa seseorang akan melakukan segala hal yang diyakini ketika dihadapkan pada beberapa jenis tindakan, karena dianggap dapat memberikan hasil terbaik. Hal ini mampu menjadikan seorang pemilih memiliki sikap aktif dalam suatu pemilihan Valentina, 2009. Pendekatan pilihan rasional lebih menekankan pada faktor situasional yang berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang. Kausalitas perilaku manusia terkait tingkah laku, tindakan, dan pilihan politiknya tidak dapat dilihat pada satu aspek saja Miaz, 2012. Pendekatan-pendekatan tersebut memiliki urutan kronologis yang jelas serta saling membangun dan mendasari satu sama perilaku pemilih golongan muda dikategorikan menjadi empat, yaitu pemilih pemula beginner voters, pemilih pindah haluan swing voters, dan massa mengambang oating mass. Golongan muda termasuk dalam pemilih pemula yang rata-rata berusia 17-20 tahun. Pemilih pemula beginner voters memiliki pengetahuan politik yang kurang memadai karena tidak tertarik pada dunia politik, sehingga cenderung mengikuti pilihan orang lain tanpa dasar rasional yang jelas. Golongan muda juga termasuk dalam pemilih pindah haluan swing voters, akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi peralihan pemilih menjadi kelompok pemilih tetap permanent voters karena termotivasi oleh akumulasi kekecewaan terhadap partai politik lama. Bentuk perilaku pemilih golongan muda yang selanjutnya yaitu massa mengambang oating mass yang tidak terikat pada partai politik tertentu karena belum menentukan pilihan. Bentuk perilaku pemilih golongan tua memiliki perbedaan mendasar dengan golongan muda yang dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu pemilih tetap permanent voters, pemilih pindah haluan swing voters, dan massa mengambang oating mass. Golongan tua sebagian besar termasuk dalam kategori pemilih pindah haluan dan massa mengambang, sedangkan kategori pemilih tetap hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini dikarenakan beberapa tokoh masyarakat di desa telah menjadi bagian dari partai politik, yang mampu berposisi secara ideologi sebagai konstituen permanen partai politik. Orientasi politik warga desa golongan tua cenderung pada aspek ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Perilaku pemilih golongan tua lebih menekankan pada pendekatan ekonomi politik tradisional yang mengarah pada paham sosiologis, budaya, suku, dan ras. Warga negara yang aktif dalam perpolitikan menurut Hoskins dan Mascherini akan memperoleh nilai demokrasi democratic value dalam kehidupan di komunitasnya, diantaranya yaitu terlibat dalam pemberian suara pada pemilihan, bergabung dengan partai politik, menjadi relawan, serta mengikuti organisasi religi Gofur & Sunarso, 2019. Perilaku pemilih dalam pendekatan ini dikembangkan berdasarkan konsep rasionalitas dan kepentingan diri politik warga desa golongan muda lebih mengarah pada pengetahuan politik. Pengetahuan yang dimaksud berkaitan dengan perubahan isu, nilai, dan kecepatan kandidat Copyright © 2021 Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan KewarganegaraanPerilaku pemilih warga desa ... 296sebagai upaya mencari informasi dari hal-hal yang baru, rasa keingintahuan, kebosanan, atau kepuasan dengan proses pemilihan Riung, 2019. Perilaku pemilih dalam mengambil keputusan politik berdasarkan teori pemecah masalah heuristic didasarkan pada empat aspek, yaitu endorsement, familiarity, habit, dan viability. Endorsement yaitu apabila seseorang memilih kandidat berdasarkan hasil rekomendasi dari kerabat dekat, elit politik yang terpercaya, atau kelompok sosial yang diikutinya. Familiarity yaitu apabila seseorang memilih kandidat yang telah dikenal atau diketahui sebelumnya. Habit yaitu ketika seseorang memilih kandidat berdasarkan pilihannya pada proses pemilihan sebelumnya. Viability yaitu ketika seseorang memilih kandidat yang mempunyai peluang menang lebih politik golongan muda dan golongan tua dalam pilkades dikategorikan sebagai politik identitas. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa karakteristik, yaitu a legitimasi identitas yang dibangun oleh institusi atau penguasa memiliki peran dalam masyarakat, b resistensi identitas yang disematkan oleh aktor sosial kelompok tertentu, c proyek identitas yang dimaknai sebagai atribut berdasarkan konstruksi identitas oleh aktor sosial dari kelompok tertentu Suryani & Azmy, 2020. Pelaksanaan pilkades tidak terlepas dari politik identitas karena dalam proses tersebut mengandung aspek legitimasi, resistensi, dan proyek politik warga desa dalam bentuk politik identitas dalam Pilkades salah satunya dipengaruhi oleh sosialisasi politik yang dilakukan kandidat, relawan, atau penyelenggara pemilihan. Sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses interaksi sosial baik secara kelompok atau individu yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan, sikap, nilai, dan perilaku esensial seperti keterlibatan Nababan, Jekrina, & Pinem, 2019. Sosialisasi politik menurut Kenneth P. Langton merupakan pemberian pengetahuan dan pengalaman melalui transfer nilai, keyakinan, sikap, dan perilaku berdasarkan sistem politik yang ingin diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya Cahyani, 2019. Sosialisasi politik yang dilakukan dalam proses Pilkades berkaitan dengan sosialisasi undang-undang, penguatan organisasi muda, serta partisipasi masyarakat dalam dunia identitas dan sosialisasi politik merupakan kriteria suatu bentuk perilaku pemilih warga desa golongan tua dan golongan muda dalam penyelenggaraan pilkades. Kedua kriteria tersebut memiliki peran yang sentral dalam hal partisipasi politik warga desa. Bentuk perilaku pemilih juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi faktor sosiologis, psikologis, dan pilihan rasional yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam proses pembentukan perilaku pemilih warga desa golongan muda dan golongan tua dalam Perilaku Pemilih Warga Desa Golongan Muda dan Golongan Tua dalam Pemilihan Kepala DesaPenguatan perilaku pemilih warga desa melalui partisipasi politik menjadi suatu tantangan bagi pemerintah dalam membentuk warga desa yang partisipatoris. Perilaku pemilih warga desa tidak dapat dikatakan rasional secara mutlak, karena dalam praktiknya didasarkan pada aspek sosiologis dan psikologis para pemilih. Penguatan perilaku pemilih warga desa dilaksanakan dengan menggunakan berbagai macam bentuk pendekatan. Pendekatan penguatan perilaku pemilih warga desa dipengaruhi oleh aspek psikososial dan budaya yang melekat pada masyarakat. Upaya penguatan perilaku pemilih warga desa dalam pilkades dilaksanakan melalui sosialisasi, baik dilakukan oleh aparatur desa, kontestan, relawan, gereja, maupun oleh panitia Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara KPPS. Upaya yang dilakukan oleh gereja terkait penguatan perilaku pemilih warga desa yaitu mengadakan kegiatan-kegiatan pencerahan politik agar masyarakat dapat memilih sesuai hati nurani. Gereja memiliki peran yang sangat dominan dalam memberikan konsep politik yang baik berlandaskan asas solidaritas, hal ini dikarenakan sekitar 98% warga Desa Orong merupakan penganut agama Katolik. Perilaku pemilih ditentukan oleh status sosial ekonomi, agama, dan daerah tempat tinggal. Kegiatan politik yang dilaksanakan oleh gereja menjadi salah satu bentuk penguatan berbasis agama terkait perilaku pemilih warga desa dalam penyelenggaraan Pilkades. Sosialisasi politik gereja juga dilaksanakan melalui kegiatan katekese politik, yaitu suatu kegiatan dengan tujuan memberikan informasi Copyright © 2021 Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan KewarganegaraanPerilaku pemilih warga desa ... 297kepada warga desa agar dapat menentukan pilihan sesuai hati nurani. Kegiatan katekese politik yang dilakukan oleh gereja juga dimaksudkan untuk menghimbau agar kontestan tidak melakukan pelanggaran, terutama yang dapat menimbulkan kerusakan pada harkat dan martabat sesama manusia. Kegiatan-kegiatan politik gereja pada intinya bertujuan untuk memberikan gambaran dan arahan bagi semua pihak yang terlibat dalam pilkades dengan menekankan pada aspek solidaritas, kerukunan, kekeluargaan, kejujuran, keadilan, dan sebagai bentuk penguatan perilaku pemilih juga dilaksanakan berbasis kampanye yang dominan dilakukan oleh kandidat atau kontestan, relawan, dan warga desa dari golongan muda. Sosialisasi politik yang menjadi salah satu bentuk penguatan perilaku pemilih warga desa dalam pilkades secara teoritis diklasikasikan sebagai upaya penguatan dalam lingkup mobilisasi politik. Mobilisasi politik dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu mobilisasi langsung dan tidak langsung Elwan, 2019. Mobilisasi langsung dilaksanakan dalam bentuk pengarahan kepada pemilih, agar dapat melakukan tindakan politik sebagaimana yang dikehendaki. Mobilisasi tidak langsung dilaksanakan dengan tujuan mempengaruhi pola pikir, sudut pandang, dan pemahaman pemilih dalam bentuk keputusan langsung dilakukan dengan memberikan instruksi-instruksi kepada pemilih, diantaranya seperti sosialisasi langsung dalam bentuk kampanye terbuka untuk menggerakkan dan melakukan aksi politik. Mobilisasi tidak langsung dilakukan melalui media, diantaranya seperti kampanye dialogis, webinar, serta iklan online di media mainstream. Sosialisasi politik melalui berbagai media merupakan proses induksi ke dalam budaya politik berdasarkan pembelajaran sikap serta penanaman nilai yang diterima dari budaya politik dan subkultur politik untuk menciptakan kestabilan pemerintahan Gafur, 2019. Pemahaman politik warga desa menjadi salah satu persoalan yang perlu diperhatikan dalam suatu pemilihan, karena cenderung memaknai perpolitikan dengan tujuan jangka pendek. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan orientasi dan faktor pendidikan politik warga desa yang belum memadai, sehingga menghambat proses pembangunan berkelanjutan oleh birokrasi pemerintahan desa dan elemen masyarakat dalam hal pemberdayaan sumber daya manusia di bidang politik partisipatif. Perilaku pemilih warga desa golongan tua dan golongan muda secara tidak langsung dipengaruhi oleh lingkungan, mobilitas sosial, dan iklim politik yang sedang berjalan. Mobilisasi politik memegang peran sentral dalam konsep perilaku pemilih warga negara baik golongan tua atau golongan muda, terutama berkaitan dengan implikasi dalam suatu partisipasi politik D’Hooge, Achterberg, & Reeskens, 2018. Pengaruh iklim politik terhadap perilaku politik baik eksternal maupun internal dibangun dan dipolitisasi sedemikian rupa untuk mengubah persepsi pemilih Vinarski-Peretz & Kidron, 2018. Orientasi politik setiap pemilih tentu berbeda satu sama lain, tergantung pada aspek keterlibatan dalam politik serta lingkungan di sekitarnya Cheung dkk., 2019. Hal ini sesuai dengan teori kognitif sosial yang mengasumsikan bahwa perilaku manusia dibentuk dan dikendalikan secara otomatis berdasarkan rangsangan pemilih warga desa dalam Pilkades menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terutama pemerintah desa. Perilaku pemilih dapat mempengaruhi kebijakan yang bertujuan untuk mengembangkan ekonomi, kelembagaan, tingkat pendidikan, dan pengalaman dalam pemilihan. Hal ini terlihat dari adanya kebiasaan dalam bentuk voting yang secara psikologis mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam berbagai macam bentuk pemilihan di masa yang akan datang. Perilaku pemilih tidak hanya ditinjau dari hasil pemilihan saja, akan tetapi juga dilihat dari keterlibatan atau keaktifan masyarakat sebagai representasi tugas kewargaan demokrasi. Pendidikan Politik Warga Desa Golongan Muda dan Golongan Tua dalam Pemilihan Kepala DesaPendidikan politik merupakan bagian dari sosialisasi politik yang bertujuan membentuk nilai-nilai politik pada masing-masing warga negara, agar mampu berpartisipasi dalam sistem politik. Pendidikan politik melalui partisipasi politik dapat membentuk budaya politik partisipatif masyarakat yang ada di desa. Nilai-nilai budaya politik tersebut tidak terlepas dari proses ltrasi nilai-nilai budaya masyarakat di desa. Pendidikan politik pada hakikatnya bertujuan untuk membangun proses pendewasaan dan pemberdayaan seseorang terkait tanggung jawab individu dan kolektif melalui etika politik yang baik dan bertanggung jawab. Copyright © 2021 Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan KewarganegaraanPerilaku pemilih warga desa ... 298Warga desa golongan tua lebih banyak memperoleh pendidikan politik melalui partisipasi politik yang bersifat manual. Informasi politik hanya diperoleh dari media cetak seperti koran, baliho, dan papan iklan. Pendidikan politik juga diterapkan pada gereja yang lebih bersifat netral karena berlandaskan rasa saling menghormati dan menghargai harkat dan martabat sesama manusia dengan orientasi politik solidaritas. Pendidikan politik di desa pada umumnya diterapkan melalui nilai-nilai kekeluargaan, budaya atau tradisi masyarakat desa, serta agama. Warga desa golongan muda lebih banyak memperoleh pendidikan politik melalui berbagai media online, tokoh masyarakat, orang tua, dan informasi yang bersifat isu. Kendala pendidikan politik di desa salah satunya yaitu terkait informasi publik seperti website termasuk media-media desa yang belum memadai. Literasi politik perlu dilakukan oleh warga desa golongan muda sebagai pemilih pemula, agar tidak menimbulkan berbagai permasalahan sosial politik seperti perilaku politik yang merusak bahkan propaganda kelompok anti demokrasi Ridha & Riwanda, 2020. Pendidikan politik di desa saat ini dilakukan dengan melakukan pemberdayaan media seperti facebook, instagram, dan twitter dengan tujuan menyerap aspirasi masyarakat sebagai bagian dari pendidikan politik serta memberikan edukasi politik kepada warga desa. Pendidikan politik warga desa termasuk dalam dua kategori, yaitu melalui nilai budaya dan media massa. Nilai budaya merupakan pola tingkah laku individu yang berorientasi pada kehidupan politik sebagai persoalan yang dihadapi oleh anggota suatu sistem politik Suryana, 2020. Unsur kebudayaan berdasarkan teori fungsionalisme yang dikembangkan oleh Bronislaw Malinowski merupakan bagian masyarakat tempat unsur-unsur tersebut berada dengan menekankan bahwa setiap pola perilaku, kepercayaan, dan sikap menjadi bagian dari kebudayaan suatu masyarakat yang memiliki peran mendasar Aditya dkk., 2020. Nilai budaya dalam praktik perpolitikan di desa sebagian besar sangat mempengaruhi orientasi politik, kecuali warga desa yang tergolong berpendidikan tinggi karena cenderung bersikap politik selain diterapkan melalui nilai budaya juga melalui media massa. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis Hartati & Wahyuni, 2020. Kategori media massa meliputi media cetak, media elektronik, dan media online. Media massa sangat efektif dalam membentuk sikap, perspektif, perilaku, dan orientasi politik seseorang. Pendidikan politik sebagai salah satu upaya meningkatkan partisipasi politik sangat dipengaruhi oleh media, baik media cetak maupun media digital Patmisari, Sumarsih, & Bambang, 2020. Media massa memiliki fungsi kontrol sosial yang di dalamnya termasuk aspek politik, sehingga mampu menghasilkan suatu perilaku pemilih dan partisipasi politik dengan orientasi politik warga desa yang berbeda satu sama lain. Nilai budaya dan media massa merupakan bentuk penerapan pendidikan politik warga desa, baik golongan tua maupun golongan muda. Penerapan pendidikan politik di desa melalui media massa masih tergolong sangat minim, hal ini terbukti dari kurangnya penggunaan media online dan media elektronik khususnya bagi golongan tua. Pemberdayaan media terutama media online dan media elektronik pada pemerintah desa maupun warga desa, dijadikan sebagai salah satu syarat mutlak dari penerapan pendidikan politik di desa. Keberadaan media massa di era dengan prospek digitalisasi seperti saat ini dinilai sangat penting, karena menjadi salah satu upaya untuk menerapkan pendidikan politik dan informasi politik baik dalam bentuk konsep atau kaidah moral politik bagi warga politik melalui nilai budaya dan media massa dipandang sebagai budaya politik baru dalam aspek penerapan pendidikan politik di desa. Budaya politik dalam aplikasinya lebih mengedepankan aspek-aspek perilaku aktual berupa tindakan, serta aspek-aspek perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan. Budaya politik yang dijelaskan oleh Gabriel A. Almond merupakan suatu dimensi psikologis dari sistem politik yang mencakup beberapa komponen, meliputi struktur politik dan fungsi dalam sistem politik yang bersangkutan Syuhada, 2020. Pendidikan politik berdasarkan aspek budaya politik diterapkan dengan empat orientasi, yaitu orientasi pada pemecahan masalah, orientasi terhadap aksi bersama, orientasi terhadap sistem politik, serta orientasi terhadap orang lain Syuhada, 2020. Penerapan pendidikan politik pada hakikatnya bertujuan untuk mentransfer sikap, nilai, kepercayaan, dan tindakan dalam Copyright © 2021 Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan KewarganegaraanPerilaku pemilih warga desa ... 299sistem politik partisipatif dengan berdasar pada proses demokratisasi warga desa dari tingkat yang paling dasar. SIMPULANPotret perilaku pemilih warga desa golongan muda dan golongan tua dalam pemilihan kepala desa dilakukan dengan menyalurkan hak suara, dukungan materi dan sik, serta berpartisipasi dalam musyawarah desa. Bentuk perilaku pemilih warga desa golongan muda dan golongan tua dalam pemilihan kepala desa meliputi dua kriteria, yaitu berdasarkan pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis. Bentuk perilaku pemilih warga desa golongan muda dan golongan tua dalam pemilihan kepala desa termasuk dalam kategori pemilih pemula beginner voters, pemilih pindah haluan swing voters, massa mengambang oating mass, dan pemilih permanen permanent voters. Penguatan perilaku pemilih warga desa dalam pemilihan kepala desa dilakukan melalui sosialisasi yang dilakukan oleh aparatur desa, kontestan, relawan, gereja, dan panitia kelompok penyelenggara pemungutan suara. Pendidikan politik warga desa golongan muda dalam pemilihan kepala desa diperoleh dari berbagai media online, yang didukung dengan adanya tokoh masyarakat, orang tua, dan informasi yang bersifat isu. Pendidikan politik warga desa golongan tua dalam pemilihan kepala desa diperoleh dari media cetak, seperti koran, baliho, dan papan RUJUKANAditya, R. S., Ningrum, L. R., Fahrany, F., Kodriyah, L., & Mayasari, E. 2020. Pengantar Antropologi Kesehatan. Malang Literasi Nusantara Eli, Callen, Mike, Gibson, Clark, Long, James, & Rezaee. 2019. Election Fairness and Government Legitimacy in Afghanistan. Journal of Economic Behavior and Organization, 1682019, 292-317. Cahyani, C. H. 2019. Sosialisasi Politik dan Partisipasi Politik Peran Kesbangpol terhadap Partisipasi Politik Pemilih Pemula di Kota Depok Tahun 2018. Jakarta Universitas Islam Negeri Syarif J., & Geys, B. 2016. Explaining Voter Turnout A Meta-Analysis of National and Subnational Elections. Electoral Studies, 422016, C., Ma, S. K., & Chan, C. K. 2019. Linking Participation in Occupying Protest, Civic Engagement, and Approval of Government Among College Students in Hong Kong. Social Science Journal, 12019, T. O. L., Ma, T. H. A., Lee, M. Y. K., Lee, C. K. J., & Lo, Y. L. 2019. How Does Political Orientation Inuence One’s Environmental Attitude and Behaviour? Debate Over Country Park Conservation in Hong Kong. Environmental Science and Policy, 992019, 115-122. Ciornei, I., & Ostergaard-Nielsen, E. 2020. Transnational Turnout Determinants of Emigrant Voting in Home Country Elections. Political Geography, 782020, A. F. 2020. Forecasting Election Results by Studying Brand Importance in Online News. International Journal of Forecasting, 362, J. W. 2016. Research Design Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran. Yogyakarta Pustaka M., Zerkowska-Balas, M., & Kotnarowski, M. 2013. Voting as a Habit in New Democracies-Evidence from Poland. Communist and Post-Communist Studies, 461, 95-107. D’Hooge, L., Achterberg, P., & Reeskens, T. 2018. Imagining Class A Study Into Material Social Class Position, Subjective Identication, and Voting Behavior Across Europe. Social Science Research, 702018, 71-89. Densin, N. K., & Lincoln, Y. S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta Pustaka J. C., Bytzek, E., Steffens, M. C., & Schneider, F. M. 2019. Which Kind of Political Campaign Messages Do People Perceive as Election Pledges?. Electoral Studies, 572019, 121-130. Elwan, L. O. M. 2019. Model dan Dampak Mobilisasi Politik Pemilihan Kepala Desa Studi Kasus Desa Bontomatinggi Kabupaten Maros Sulawesi Selatan Tahun 2016. Journal Publiuho, 14, M. H., & Fauzi, A. M. 2020. Perilaku Pemilih Masyarakat Kabupaten Lamongan pada Pilpres 2019. Jurnal Paradigma, Copyright © 2021 Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan KewarganegaraanPerilaku pemilih warga desa ... 30091, 55-63. Fan, X., & Yan, F. 2019. The Long Shadow Social Mobility and Political Participation in Urban China, 2006-2012. Social Science Research, 812019, 106-116. Fuad, A. B. B. 2014. Political Identity and Election in Indonesian Democracy A Case Study in Karang Pandan Village-Malang, Indonesia. Procedia Environmental Sciences, 202014, 477-485. Gaebler, S., Potrafke, N., & Roesel, F. 2020. Compulsory Voting and Political Participation Empirical Evidence from Austria. Regional Science and Urban Economics, 812020, 2019. Pengaruh Gender terhadap Kesadaran Politik Siswa Sekolah Menengah Atas. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 41, 207-214. Garmann, S. 2017. Election Frequency, Choice Fatigue, and Voter Turnout. European Journal of Political Economy, 472017, A., & Sunarso. 2019. Pengaruh Literasi Media Massa Online terhadap Civic Engagement Politik Aktivis Mahasiswa. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 42, 215-220. Hammett, D., & Jackson, L. 2018. Developing a Civil’ Society in Partial Democracies In Civility and a Critical Public Sphere in Uganda and Singapore. Political Geography, 672018, A. Y., & Wahyuni, Y. 2020. Oligopoli di Negara Demokrasi Praktek dan Kepentingan Ekonomi Politik Media Massa di Australia, Spektrum, 181, I. C. 2020. Implementasi Pendidikan Politik pada Partai Politik di Indonesia. Jurnal Pendidikan Politik, Hukum dan Kewarganegaraan, 101, M., & Stiers, D. 2016. Elections as a Democratic Linkage Mechanism How Elections Boost Political Trust in a Proportional System. Electoral Studies, 442016, 46-55. Khoban, Z. 2019. What Citizens Learn from Elections The Normative Consequences of Voter Eligibility. Electoral Studies, 622019, D. 2020. Pendidikan Politik Pemilih Muda dalam Pemilihan Kepala Desa Serentak di Kabupaten Bandung Tahun 2019. Indonesian Community Service and Empowerment, 11, 16-21. Lappie, J., & Marschall, M. 2018. Place and Participation in Local Elections. Political Geography, 642018, J., Xi, T., & Yao, Y. 2019. Empowering Knowledge Political Leaders, Education, and Economic Liberalization. European Journal of Political Economy, 12019, X. 2020. The Critical Assessment of the Youth Policy and Youth Civic Engagement in Denmark and Three Danish Municipalities. Children and Youth Services Review, 1102020, C. B., & Bryant, L. A. 2020. If You Ask, They Will Come To Register and Vote Field Experiments with State Election Agencies on Encouraging Voter Registration. Electoral Studies, 632020, Y. 2012. Partisipasi Politik Pola Perilaku Pemilih pada Masa Orde Baru dan Reformasi. Padang Universitas Negeri R., Jekrina, U., & Pinem, A. P. 2019. Hubungan Sosialisasi Politik dengan Partisipasi Politik dalam Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Dairi Kecamatan Gunung Sitember. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 11, Sumarsih, E. J., & Bambang, Y. 2020. Peningkatan Partisipasi Politik dalam Kerangka Otonomi Desa. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 52, G. 2019. Hak Rakyat dalam Mekanisme Pembubaran Partai Politik di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 41, 61-80. Predescu, M., & Darjan, I. 2010. Promoting Political Participation through Adult Education. Procedia Social and Behavioral Sciences, 22, U., Bernhagen, P., & Rose, R. 2019. Partisan Consequences of Low Turnout at Elections to the European Parliament. Electoral Studies, 592019, Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 Copyright © 2021 Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan KewarganegaraanPerilaku pemilih warga desa ... 301tentang Pemilihan Kepala Desa. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor Indonesia. 2014. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495. Ridha, M., & Riwanda, A. 2020. Literasi Media, Literasi Politik, dan Partisipasi Kewarganegaraan Pemilih Pemula di Era Digital. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 51, W. 2019. Perilaku Pemilih pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati 2018 Kabupaten Kepulauan Talaud di Kecamatan Khusus Miangas. Jurnal Politico, 83, C., & Medeiros, M. 2020. Personality and Political Careers What Personality Types are Likely to Run for Ofce and Get Elected?. Personality and Individual Differences, 1522020, Y. 2020. Pengaruh Pelaksanaan Pemilihan Umum Serentak terhadap Budaya Politik. Supremasi Hukum Jurnal Penelitian Hukum, 291, & Azmy, A. S. 2020. Political Identity and Multiculturalism Strengthening Political Identity of Chinese in a Post New Order. Perspektif, 92, 183-194. Syuhada, O. 2020. Fenomena Budaya Politik Parokial dan Perwujudan Demokrasi Pancasila dalam Perspektif Hukum Tata Negara. Presumption of Law, 12020, 72-115. Tjilen, A. P. 2019. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lokal dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Monograf, 61, A. F., Bangun, Y. R., & Lantu, D. C. 2014. Understanding the Role of Emotional Intelligence and Trust to the Relationship between Organizational Politics and Organizational Commitment. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 1152014, 378-386. Valentina, T. R. 2009. Peluang Demokrasi dan Peta Perilaku Pemilih terhadap Partai Politik untuk Pemilu 2009 di Yogyakarta. Jurnal Demokrasi, 82, H., & Kidron, A. 2018. The Shadow Dance of Political Climate Engagement in Political Behavior in Local Government Authorities. European Management Journal, 365, 608-615. Wang, T. Y. 2019. Generations, Political Attitudes and Voting Behavior in Taiwan and Hong Kong. Electoral Studies, 582019, E. D. 2020. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Desa. Jurnal Ilmiah Perlindungan dan Pemberdayaan, 21, 1-19. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this PatmisariEka Jumaidah SumarsihYulianto Bambang SetyadiAchmad Muthali'inPenelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi implementasi dan efektivitas program pemerintahan desa dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat di Desa Gonilan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan informan yang dipilih menggunakan purposive sampling. Informan terdiri dari enam orang yaitu sekretaris desa, kepala seksi kasi pemerintahan, kepala urusan kaur umum dan tata usaha, kaur perencanaan, ketua Panitia Pemungutan Suara PPS, dan sekretaris Panitia Pemungutan Suara PPS. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi, sedangkan keabsahan data diuji dengan menggunakan triangulasi sumber data dan teknik. Analisis data dilakukan dengan menerapkan model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program pemerintahan Desa Gonilan, berupa Warung Pethuk, forum desa, dan mobility broadcasting mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat, karena menjadi salah satu daya tarik untuk meningkatkan jumlah kehadiran pemilih. Efektivitas program-program tersebut dapat meningkatkan partisipasi politik di Desa Gonilan, hal ini dapat terlihat dari antusiasme warga dalam mengikuti kegiatan pemilihan umum, baik di tingkat pemilihan kepala desa, kepala daerah, gubernur dan wakil gubernur, legislatif, dan presiden serta wakil presiden. Upaya pemerintahan Desa Gonilan memunculkan alternatif upaya untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat melalui berbagai program yang menarik dan participation in occupying protest is publicly remarkable, its impact on participants’ approval of government, is empirically uncharted. Meanwhile, current research and theory have not been consistent about the impacts of protest participation specifically and civic engagement generally. As the impacts are particularly of concern to college education and democratization, the present study surveyed 527 college students in the Chinese metropolis of Hong Kong to clarify the impacts. Results reveal that both occupying protest participation and civic engagement increase since the participation tended to reduce approval of government substantially. Such reduction reflects competing commitment between government and protest and civic organizations. The results thus show that the participation and engagement represent challenges to government to meet participants’ study intended to determine the effect of media literacy and political literacy on the participation of novice voter citizenship in the digital era. This research used a non-experimental ex post facto quantitative approach. A sample of 350 was chosen randomly. Data analysis used path analysis with the help of the SPSS program. The analysis showed that media literacy significantly influences the level of civic participation Second, political literacy also significantly influences the level of civic participation Third, media literacy has a significant influence on political literacy Fourth, simultaneously media literacy and political literacy affect civic participation Fifth, political literacy was not significantly proven to moderate the relationship between media literacy and citizenship participation p = > Media literacy and political literacy affected the civic participation of novice voters both partially and simultaneously. The level of media literacy of the novice voters did not trigger a weak or strong relationship between political literacy and the citizenship participation of the novice PatmisariAbdul GafurThis article aims to describe the effect of gender differences in the political awareness of high school students as a novice voter. The study method uses a correlational research design using a quantitative approach. The analysis used was independent samples T-test using SPSS 21. Data collection instruments used a questionnaire distributed to research samples. The sample is 245 students consisting of 128 female students and 117 male students. The results of the study showed differences in the level of political awareness between male and female students, male students had higher political awareness than female students. There is a positive and significant gender influence on the political awareness of high school students. Gema PerdanaThis paper aims to reveal the granting of authority to the people in the mechanism of dissolution of political parties and the idea of the Ius Constituendum mechanism of dissolution of political parties in Indonesia. This paper uses a normative juridical study with a historical approach, a case approach, and a statute approach. This paper shows that the granting of authority to the people in the mechanism of dissolution of Political Parties must pay attention to the people as the owner of the country’s sovereignty. The people should be qualified for having legal standing in the request to dissolve political parties. Ius Constituendum the dissolution of political parties in Indonesia becomes a model of appropriate sanctions against political parties that have violated the provisions which are proven and decided by the competent institution, in this case, the judicial GofurSunarso SunarsoThe purpose of writing this article is to describe the effect of online mass media literacy on civic engagement of student activists in the political field. This type of survey research with a quantitative approach. The population was 651 students and a sample of 90 students. Data analysis uses descriptive statistical analysis and simple regression. Online mass media literacy has a significant and positive influence on civic engagement in politics. The results of data analysis show the value of t-count is greater than the t-table 10,332>1,986. The significance value is smaller than alpha 0,000 < The contribution of Mass Media Online Literacy to Civic Engagement in politics in student activists was while the rest was influenced by other wide majority of countries acknowledge non-resident citizens' right to vote in elections in their country of origin. However, classical turnout theories do not take into account how electoral mobilisation has expanded into a transnational political field that reaches beyond national state borders. This paper analyses the determinants of emigrant turnout based on an original dataset of 25 countries of origin and each of the counties of residence where these voters reside. We find that emigrant communities from developing democracies experience a steep political learning curve that prompts their participation in home country politics, especially if they reside in countries with solid democratic institutions and linkages with their host societies. Our research also shows that remittances not only indicate commitment to family members' welfare in home countries, but positively influence participation in home country SyuhadaBudaya politik juga dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya. Namun Budaya politik parokial parochial political culture yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif misalnya tingkat pendidikan relatif rendah. Budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah. Dalam budaya politik ini masyarakat tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier sebagai data utama. Setelah data sekunder dan primer terkumpul, kemudian diadakan analisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil analisis data, disimpulkan bahwa terbentuknya pemerintahan yang baik good Governance serta pemerintahan yang bersih Clean Governmance berawal dari bagaimana proses pelaksanaan dalam sistem keterpilihan baik legislatif maupun eksekutif dilaksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi yang sesungguhnya, keterlibatan setiap anggota masyarakat dalam proses pemilihan umum adalah sebuah keniscayaan dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Beranjak dari pemahaman tersebut, maka budaya politik masyarakat menjadi sebuah variabel yang sangat menentukan dalam mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil, makmur dan sejahtera sejalan dengan cita-cita negara Republik Indonesia yang tertuang didalam konstitusi UUD RI 1945.Uwe Remer-BollowPatrick Bernhagen Richard RoseLow turnout and potential differences in party preferences between voters and non-voters may affect party vote shares at European Parliament EP elections. Of particular concern is the rise of Eurosceptic and populist parties, but scholars do not know whether these would benefit from increased voter mobilization. To address this gap, we simulate the party choices of non-voters at the 2009 and 2014 EP elections. Contrary to analyses of turnout effects at general elections in multiparty systems, our simulations suggest that left-leaning and ideologically moderate parties would gain if turnout went up to levels observed at first-order national elections. And while there is some evidence that populist parties might have benefitted from higher turnout at the 2014 elections but not in 2009, our findings do not support expectations that either Eurosceptic or Europhile parties’ vote share would be affected by higher KurniasihYoung voters in the head of village election simultaneously 2019’s are a new generation of voters who have different characteristics and characters, backgrounds, experiences and challenges from the previous generation of voters. Most of them come from among students, have good economic status, and generally live in urban or surrounding areas. They are very open to learning new, critical and independent things. The contribution of young voters in the field of village politics is based on the role of youth as controlling agents. Young voters, especially in villages, can provide insight to village communities regarding the head of village elections so that the community can actively participate in village head elections in order to minimize abstentions. The role of political education for young voters is very important to be implemented in achieving a high level of success in the head of village election simultaneously in Bandung Regency in 2019. Key words political education, young voters, the head of village election ABSTRAK Pemilih muda pada pilkades serentak di Kabupaten Bandung tahun 2019 adalah generasi baru pemilih yang memiliki sifat dan karakter, latar belakang, pengalaman dan tantangan yang berbeda dengan para pemilih generasi sebelumnya. Sebagian besar di antara mereka berasal dari kalangan pelajar, berstatus ekonomi baik, dan pada umumnya tinggal di kawasan perkotaan atau sekitarnya. Mereka sangat terbuka untuk mempelajari hal-hal yang baru, kritis dan juga mandiri. Kontribusi pemilih muda dalam bidang politik desa berlandaskan atas peran pemuda sebagai Agen controlling. Pemilih muda terutama di desa dapat memberikan wawasan kepada masyarakat desa terkait pemilihan kepala desa agar masyarakat dapat turut aktif berpartisipasi dalam pemilihan kepala desa guna meminimalisir golput. Peran pendidikan politik bagi pemilih muda sangat penting untuk dilaksanakan dalam mencapai tingkat kesuksesan yang tinggi pada pilkades serentak di Kabupaten Bandung Tahun 2019. Kata kunci pendidikan politik, pemilih muda, pemilihan kepala desa Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Dana desa merupakan keistimewaan untuk pembangunan sebuah desa. Dengan adanya dana desa, slogan "Membangun dari Desa" bisa tak sebatas kata-kata, tetapi itu bisa menyata lewat pembangunan dana desa tak lepas dari kualitas seorang pemimpin. Dalam hal ini, kepala desa yang umumnya dipilih oleh rakyat dalam suatu desa. Faktor utama agar dana desa agar terolah dengan baik dan bertanggung jawab itu bergantung pada kemampuan rakyat dalam memilih seorang kepala desa. Jadi, bukan sekadar memilih, apalagi memilih karena ikatan latar belakang tertentu dan mengabaikan faktor kualitas. Paling tidak, 3 hal berikut ini yang bisa menjadi rujukan saat kelak kita berkesempatan memilih dan menilai seorang menjadi kepala Mesti Melek Manajemen itu menyangkut pengaturan anggaran budget. Sejumlah uang yang dikucurkan oleh pemerintah pusat mesti diatur seturut kebutuhan yang baik mensyaratkan kemampuan seorang kepala desa dalam hal manajemen anggaran. Hal ini termasuk kemampuan kepala desa mengetahui akutansi dasar. Sangat disayangkan ketika kepala desa tak tahu soal pengaturan anggaran. Dia bisa saja hanya ikut arus saat mengatur anggaran atau pun melihat dana desa sebagai kepunyaan sendiri tanpa peduli asas manfaat dari dana yang tidak, seorang kepala desa harus tahu tentang akuntasi dasar. Akuntasi dasar itu soal berapa jumlah uang yang masuk, laporan penggunaannya, dan asas manfaat dari dana yang itu bukan sekadar dihabiskan. Akan tetapi, aspek manfaat dari anggaran itu harus dikedepankan. Kalau sebuah proyek tidak bermanfaat, lebih baik anggaran tidak boleh dipakai. 1 2 3 4 Lihat Kebijakan Selengkapnya loading... JAKARTA - Kampanye para calon kepala daerah tidak bisa dilepaskan dari slogan kampanye. Dengan mengusung slogan yang tepat, para calon kepala daerah bisa menarik simpati dan suara calon tentu masih ingat slogan kampanye IndonesiaMaju yang diusung oleh pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada Pemilu 2019. Atau IndonesiaMenang yang diusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Pun dengan slogan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta 2017, MajuKotanya, BahagiaWarganya serta beribu slogan lain yang diusung hampir semua pasangan calon saat maju menjadi pemimpin wilayah. Baca Cukup Diucapkan, Amalan Ringan Ini Pahalanya MelimpahMenjelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Pilkada Serentak 2020 , jalanan di 270 wilayah telah dipenuhi gambar pasangan calon dengan berbagai slogan kampanye mereka. Di wilayah Tangerang Selatan Tangsel, Banten, misalnya, gambar tiga pasangan calon kepala daerah yang telah mendaftarkan diri ke KPU setempat memenuhi sudut-sudut jalan. Gambar pasangan Muhammad-Rahayu Saraswati dengan slogan kampanye ”Tangsel untuk Semua”; pasangan Benjamin Davnie-Pilar Saga Ichsan dengan slogan ”Pengalaman-Profesional, Lanjutkan”; serta pasangan Siti Nur Azizah-Ruhamaben dengan slogan ”Permata Tangsel”. Di Depok, Jawa Barat pasangan Mohammad Idris-Iman Budi Hartono Depok menggaungkan ”Maju Berbudaya Sejahtera”, sedang saingannya pasangan Pradi Supriatna-Afifah Alia mengusung slogan ”Kota Depok Mengayomi Semua”.Slogan kampanye ini dalam dunia pemasaran disebut dengan tagline, yakni deskripsi singkat terdiri atas satu atau beberapa kata yang menggambarkan suatu produk secara keseluruhan. Tentu bukan perkara yang mudah dalam merumuskan tagline atau slogan kampanye pasangan calon kepala daerah. Slogan ini harus tepat secara kata, rima, hingga makna. Slogan ini juga harus mengakomodasi karakter calon pemimpin dan calon pemilih. Dengan demikian, slogan maupun tagline kampanye yang dipilih sesuai dengan tujuan akhir kampanye, yakni menggaet sebanyak mungkin suara pemilih. Baca juga Ekspor Agustus Anjlok, Industri Pengolahan Turun 4,91%CEO dan Founder Alvara Research Center Hasanudin Ali mengatakan, slogan bagi kandidat punya tiga fungsi. Pertama, memiliki makna sebagai kristalisasi visi, misi, dan janji kandidat yang akan ditawarkan kepada pemilih. "Kedua, slogan kampanye merupakan alat untuk menunjukkan diferensiasi atau pembeda kandidat dengan kandidat lain," ujar Hasanuddin Ali, Selasa 15/9/2020.Ketiga, slogan kampanye juga sebagai jargon dan alat konsolidasi internal tim pemenangan. "Jadi peran slogan sangat sentral bagi kandidat dalam setiap kontestasi politik," tuturnya. Berdasarkan konstruksi UU Desa, Kepala Desa dipilih dalam pemilihan, bukan ditunjuk oleh pejabat tertentu, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 31-39. Proses pemilihan itu dapat dipilah berdasarkan tahapan sebelum pemilihan, saat pemilihan, dan setelah pemilihan. Juga pembahasan mengenai asas-asas atau prinsip pemilihan. Sub tema ini, akan menjelaskan pasal yang berkaitan dengan tahapan pemilihan Kepala Desa sebagaimana disebutkan diatas. a. Prinsip dan Sifat Pemilihan Pasal 31 dan Pasal 34 UU Desa telah mengatur secara tegas prinsip pemilihan Kepala Desa. Pertama, pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah kabupaten/kota. Kebijakan pemilihan Kepala Desa serentak ini ditetapkan dalam Perda. Kedua, Kepala Desa dipilih secara langsung oleh penduduk desa. Ketiga, pemilihan dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Rumusan mengenai prinsip-prinsip dan sifat pemilihan Kepala Desa adalah berikut Pasal 31 1 Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota. 2 Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 3 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Penjelasan Cukup jelas Pasal 32 Ayat 1 Badan Permusyawaratan Desa memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6 enam bulan sebelum masa jabatannya berakhir. Penjelasan Pemberitahuan BPD kepala Kepala Desa tentang akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa tembusannya disampaikan kepada Bupati/Walikota Ayat 2 Badan Permusyawaratan Desa membentuk panitia pemilihan Kepala Desa. Ayat 3 Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat 2 bersifat mandiri dan tidak memihak. Penjelasan Cukup jelas Ayat 4 Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat 3 terdiri atas unsur perangkat desa, lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat desa. Penjelasan Yang dimaksud dengan tokoh masyarakat adalah tokoh keagamaan, tokoh adat, tokoh pendidikan, dan tokoh masyarakat lainnya. Pasal 33 Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan a. Warga negara republik indonesia b. Bertakwa kepada tuhan yang maha esa. c. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika; d. Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat; e. Berusia paling rendah 25 dua puluh lima tahun pada saat mendaftar; f. Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa; g. Terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di desa setempat paling kurang 1 satu tahun sebelum pendaftaran; h. Tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara; i. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 lima tahun atau lebih, kecuali 5 lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang; j. Tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; k. Berbadan sehat l. Tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 tiga kali masa jabatan; dan m. Syarat lain yang diatur dalam Peraturan Perda. Penjelasan Cukup jelas Pasal 34 Ayat 1 Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk desa; Ayat 2 Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil; Ayat 3 Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan, pemungutan suara, dan penetapan; Ayat 4 Dalam melaksanakan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dibentuk panitia pemilihan Kepala Desa. Ayat 5 Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 bertugas mengadakan penjaringan dan penyaringan bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, menetapkan calon Kepala Desa terpilih, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa. Penjelasan Cukup jelas Ayat 6 Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Penjelasan Biaya pemilihan Kepala Desa yang dibebankan pada ABPD Kabupaten/Kota adalah untuk pengadaan surat suara, kotak suara, kelengkapan peralatan lainnya, honorarium panitia, dan biaya pelantikan. Pasal 35 Penduduk desa sebagaimana dalam pasal 34 ayat 1 yang pada hari pemungutan suara pemilihan Kepala Desa sudah berumur 17 tujuh belas tahun atau sudah/pernah menikah ditetapkan sebagai pemilih. Penjelasan Cukup jelas Pasal 36 Ayat 1 Bakal calon Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ditetapkan sebagai calon Kepala Desa oleh panitia pemilihan Kepala Desa; Ayat 2 Calon Kepala Desa yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diumumkan kepada masyarakat desa di tempat umum sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa. Ayat 3 Calon Kepala Desa dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjelasan Cukup jelas b. Pra-pemilihan Ada proses yang harus dilalui sebelum penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa dan melibatkan para pemangku kepentingan. Proses itu antara lain adalah Pemberitahuan akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa pasal 32 ayat 1. Pembentukan Panitia Pemilihan Kepala Desa pasal 32 ayat 2 jo pasal 34 ayat 4. Penjaringan calon oleh Panitia Pemilihan pasal 34 ayat 5. Penetapan balon Kepala Desa sebagai calon oleh panitia pemilihan, dan pengumumannya kepada masyarakat pasal 36 ayat 1 dan 2. Peluang masa kampanye bagi calon yang sudah ditetapkan Pasal 36 ayat 3 c. Pemilihan Undang-Undang Desa menetapkan bahwa setiap penduduk yang telah berusia 17 tahun atau sudah menikah berhak untuk memilih pada hari H pemilihan Kepala Desa. Setiap penduduk yang mempunyai hak memilih datang sendiri ke tempat pemungutan suara dan menentukan pilihannya tanpa paksaan. Mekanisme pemilihan serentak tersebut masih akan ditetapkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah, sebagaimana disinggung pasal 31 ayat 3 berikut Pasal 31 Ayat 3 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Penjelasan Cukup jelas d. Pasca Pemilihan Ketentuan-ketentuan mengenai pascapemilihan Kepala Desa dituangkan dalam pasal 37-39. Pasal 37 lebih menekankan pada penentuan siapa yang terpilih dan mekanisme penyelesaian sengketa; pasal 38 mengatur tentang pelantikan; dan pasal 39 mengatur masa jabatan Kepala Desa. Rumusan lengkapnya sebagai berikut Pasal 37 Ayat 1 Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak. Ayat 2 Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih. Ayat 3 Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada badan permusyawaratan desa paling lama 7 tujuh hari setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat 2. Ayat 4 Badan permusyawaratan desa paling lama 7 tujuh hari setelah menerima laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota. Ayat 5 Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat 3 menjadi kepada desa paling lama 30 tiga puluh hari sejak tanggal penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk surat keputusan Bupati/Walikota. Ayat 6 Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 5. Penjelasan ayat 1 – 6 Cukup Jelas Pasal 38 Ayat 1 Calon Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk paling lama 30 tiga puluh hari setelah penerbitan keputusan Bupati/Walikota. Ayat 2 Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desa terpilih bersumpah/berjanji. Ayat 3 Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat 2 sebagai berikut “Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Kepala Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, dan bahwa saya akan akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Penjelasan ayat 1– 3 Cukup Jelas Pasal 39 Ayat 1 Kepala Desa memegang jabatan selama 6 enam tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Penjelasan Yang dimaksud dengan terhitung sejak tanggal pelantikan adalah seseorang yang telah dilantik sebagai Kepala Desa, maka apabila yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6 enam tahun Ayat 2 Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat menjabat paling banyak 3 tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Penjelasan Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 dua kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 dua kali masa jabatan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 satu kali masa jabatan. Pembahasan di DPR Dalam DIM Oktober 2012, Pemilihan Kepala Desa diatur sendiri dalam satu bab yang terdiri dari 5 pasal. Jumlah pasal bertambah menjadi 9 pasal berkat perdebatan fraksi-fraksi dengan beberapa usulan signifikan. Dalam UU Desa pengaturan tentang Pemilihan Kepala Desa menjadi bagian dari Penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang diatur dalam pasal 31-39. Rumusan dalam RUU mengalami beberapa perubahan, terutama pengaturan tentang pemilihan Kepala Desa yang dilakukan secara serentak, biaya pemilihan Kepala Desa, dan masa jabatan Kepala Desa. Perubahan ini pula yang menjadi perdebatan fraksi-fraksi pada saat pembahasan. Berikut adalah point-point perubahan penting dalam pembahasan pemilihan Kepala Desa Pemilihan Kepala Desa dilakukan secara serentak pasal 31 UU Desa. Di dalam RUU, tidak ada klausul mengenai pemilihan Kepala Desa secara serentak. Ini kemungkinan dipengaruhi kebijakan pilkada serentak, mengingat pembahasan RUU Desa dilakukan bersamaan dengan RUU Pemda dan RUU Pilkada. Biaya pemilihan Kepala Desa pasal 34 ayat 6 UU Desa. Sebagian besar Fraksi setuju dengan draft RUU bahwa biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan kepada APBDes. Akan tetapi FPPP mengusulkan biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan kepada APBD, meliputi pengadaan surat suara, kotak suara, dan sarana dan prasarana pemilihan. Masa jabatan Kepala Desa pasal 39 UU Desa. Dalam rumusan RUU, masa jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali hanya 1 satu kali masa jabatan. Dalam rumusan DIM, FPDIP, FPAN, dan Gerindra setuju dengan usulan RUU. FPD dan FPG mengusulkan masa jabatan Kepala Desa adalah 10 tahun dan dapat dipilih kembali 1 kali masa jabatan. Alasan FPD dan FPG mengusulkan 10 tahun untuk mempermudah proses di level perencanaan terutama dalam penyusunan RPJM 5 tahun. Dengan pembatasan hanya bisa dipilih kembali satu periode memberi ruang bagi regenarasi kepemimpinan, dan disaat yang sama Kepala Desa terpilih juga memiliki cukup waktu untuk merealisasikan program-program yang direncanakan. FPG berpendapat, usulan 10 tahun lebih untuk menjaga kesinambungan kehidupan masyarakat. Fraksi PPP mengusulkan jabatan Kepala Desa adalah 8 tahun dan dapat dipilih kembali hanya 1 kali masa jabatan. Lain lagi dengan Fraksi Partai Hanura yang mengusulkan jabatan Kepala Desa merujuk pada periodisasi jabatan politik pimpinan wilayah dari presiden sampai Bupati dan walikota, yakni 5 tahun. Dalam pendapat akhir mini tanggal 11 Desember 2011, Fraksi PKS memberikan pandangannya sebagai berikut “Pasal 39 ayat 1 dan 2, tentang masa jabatan Kepala Desa kami mengusulkan perubahan sebagai berikut Kepala Desa memegang jabatan selama 8 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. 2 Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 2 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak berturut-turut.”. Ketua Pansus RUU Desa Budiman Sudjatmiko pada Rapat Kerja IV tanggal 11 Desember 2013, menyampaikan pandangan atau keputusan Pansus sebagai berikut “Adapun mengenai jabatan Kepala Desa, yang tercantum di dalam Pasal 39, awalnya terdapat 2 alternatif rumusan, yaitu pasal 39 ayat 1, Kepala Desa memegang jabatan selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Ayat 2, Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Adapun alternatif kedua adalah, Pasal 39 a. Kepala Desa memegang jabatan selama 8 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Ayat 2, Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat menjabat paling banyak 2 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Pada akhirnya, tadi dicapai kesepahaman bahwa Pasal 39 itu memilih alternatif pertama”. Akhirnya dalam rapat paripurna DPR tanggal 18 Desember 2013, keputusan masa jabatan Kepala Desa diputuskan menjadi 6 tahun dan dapat dipilih kembali selama 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Akhmad Muqowam “….Kepala Desa memegang jabatan selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, Kepala Desa dapat menjabat 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak berturut-turut”. Sementara itu, Fraksi PKB dalam rapat paripurna melalui juru bicaranya Abdul Kadir Karding memberikan catatan, PKB mengusulkan masa jabatan Kepala Desa selama 8 tahun. “….Kita setuju disahkan, dengan harapan kesejahteraan segera tercapai. Namun Fraksi PKB perlu beri catatan, PKB mengusulkan agar masa jabatan kades 2 kali selama 8 tahun. Artinya, setiap kali 8 tahun,”. Perdebatan mengenai masa jabatan Kepala Desa menyita perhatian para anggota Dewan, tetapi pada akhirnya yang disepakati adalah rumusan Pasal 39. Tanggapan Pemilihan Kepala Desa secara langsung dipilih oleh rakyat atau biasa disebut sebagai Pilkades, telah berlangsung sebelum adanya Pemilihan Kepala Daerah langsung. Aturan Pilkades bahkan telah diatur pada masa orde baru melalui UU No. 5/1979. Undang-Undang Desa mengatur pemilihan Kepala Desa dilakukan secara serentak di kabupaten/kota dengan biaya yang dibebankan kepada APBD Pasal 31. Di dalam Penjelasan Umum UU ini, dijelaskan bahwa pemilihan Kepala Desa secara serentak mempertimbangkan jumlah desa dan kemampuan biaya pemilihan yang dibebankan pada APBD kabupaten/kota sehingga dimungkinkan pelaksanaannya secara bergelombang. Sebagai akibat dilaksanakannya kebijakan ini, maka akan ada Kepala Desa yang berhenti dan diberhentikan sebelum habis masa jabatan. Oleh karena itu, dalam UU ini diatur mengenai pengisian jabatan Kepala Desa selama menunggu proses Pilkades diselenggarakan dan terpilihnya Kepala Desa yang baru. Terkait dengan biaya Pilkades, dalam UU No. 32/2004 tidak diatur mengenai biaya perhelatan Pilkades. Pengaturan biaya Pilkades diserahkan kepada daerah yang diatur melalui Perda. Pada prakteknya, ada daerah-daerah yang membebankan biaya Pilkades kepada para calon Kepala Desa, seperti yang terjadi di desa Curug Wetan, Kabupaten Tangerang. Biaya yang dibebankan ini meliputi semua tahapan Pilkades sampai pengadaan seragam panitia pemilihan. Tentu saja ini membebankan para calon Kepala Desa. Akibatnya, setiap perhelatan Pilkades tidak banyak warga yang mau mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. Persyaratan untuk menjadi Kepala Desa diatur dalam Pasal 33 UU Desa. Salah satu persyaratan untuk menjadi Kepala Desa berpendidikan paling rendah sekolah menengah pertama. Persyaratan ini tidak berubah sejak zaman UU No. 5/1979. Padahal dalam RUU Desa, persyaratan untuk menjadi Kepala Desa diusulkan berpendidikan paling rendah sekolah menengah atas atau sederajat. Undang-Undang Desa tidak memberikan batasan usia bagi calon Kepala Desa. Pengaturan tentang masa jabatan Kepala Desa mengalami perubahan sesuai dengan rezim undang-undang yang berlaku. Undang-Undang No. 22/1999 mengatur masa jabatan Kepala Desa selama 8 tahun. Aturan ini tidak berubah dari rezim UU sebelumnya UU No. 5/1979. Undang-Undang No. 32/2004 mengurangi masa jabatan Kepala Desa menjadi 6 tahun dan hanya dapat menjabat 1 kali masa jabatan berikutnya. Undang-Undang Desa kemudian memberikan kesempatan lebih lama kepada Kepala Desa untuk menjabat. Dalam UU ini disebutkan jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun dan dapat menjabat kembali paling banyak tiga kali masa jabatan berturut-turut atau tidak secara berturut-turut Pasal 39 UU Desa. Legitimasi Kepala Desa Kepala Desa memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat karena ia dipilih langsung oleh rakyat desa. Menurut Sutoro Eko 2013, legitimasi merupakan dimensi paling dasar dalam kepemimpinan Kepala Desa. Seorang Kepala Desa yang tidak legitimate, maka ia akan sulit mengambil keputusan fundamental. Kepala Desa akan mendapatkan legitimasi yang kuat apabila ia ditopang dengan modal politik yang kuat, yang berbasis pada modal sosial, bukan politik uang. Ongkos transaksi ekonomi pada saat Pilkades akan sangat rendah jika seorang calon Kepala Desa memilki modal sosial yang kaya dan kuat. Sebaliknya, transaksi ekonomi akan sangat tinggi untuk meraih kemenangan jika calon Kepala Desa tidak memiliki modal sosial yang kuat, menggunakan politik uang. Kepala Desa yang menang karena politik uang akan melemahkan legitimasinya. Sebaliknya Kepala Desa yang kaya modal sosial tanpa politik uang, maka akan memperkuat legitimasinya. Legitimasi yang kuat dari hasil modal sosial yang kuat pula, akan memunculkan kepemimpinanan Kepala Desa yang inovatif dan progresif. Ia akan mampu bekerja dengan mengedepankan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Transparansi dimaknai sebagai dibukanya akses informasi bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, pelayanan, dan keuangan desa. Transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai, disediakan untuk dipahami, dan dapat dipantau oleh masyarakat. Partisipasi dimaknai sebagai pelibatan warga dalam seluruh proses pengambilan keputusan, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Sedangkan akuntabilitas berarti Kepala Desa dapat mengemban amanah dengan baik, dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya, dan tidak melakukan penyimpangan yang dapat merugikan masyarakat desa. Kepala Desa yang inovatif dan progresif dalam menjalankan roda pemerintahannya, akan mendapatkan kepercayaan trust dari warga. Ketika ia akan mencalonkan kembali, ia telah memiliki modal sosial yang kaya dan kuat, sehingga akan mudah baginya untuk mendapatkan kembali jabatan sebagai Kepala Desa pada saat Pilkades berikutnya. Namun, mendapatkan posisi bagus di hadapan masyarakat tak menjamin Kepala Desa bisa bertakhta dengan baik selamanya. Misalnya, ketika ada konflik kepentingan tentang pembangunan antara masyarakat desa yang dipimpin Kepala Desa dengan Bupati/Walikota. Dalam hal ini Kepala Desa harus benar-benar bisa menempatkan dirinya dengan baik karena legitimasi Kepala Desa tak hanya dari penduduk desa melalui pemilihan langsung vide Pasal 34 ayat 1, tetapi juga dari Bupati yang mengesahkan Kepala Desa terpilih vide Pasal 37 ayat 5 UU Desa. Apalagi jika perselisihan, posisi Bupati sangat sentral. Untuk meminimalisasi peluang konflik karena pemilihan, pemerintah daerah kabupaten/kota diberi ruang untuk menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa’ vide Pasal 31 ayat 2 UU Desa. Salah satu isu krusial dalam pemilihan Kepala Desa adalah mekanisme penyelesaian perselisihan. Seperti halnya pemilihan umum pemilu dan pemilihan kepala daerah pilkada, pemilihan kepala daerah pun potensial menimbulkan perselisihan antarcalon. Undang-Undang Desa tampaknya tak memasukkan pemilihan Kepala Desa baik ke dalam rezim pemilu maupun rezim pilkada, sehingga proses penyelesaiannya dibuat sesederhana mungkin. Pasal 37 ayat 6 hanya menyebutkan “Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 5”. Berarti paling lama 30 hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan oleh Panitia Pemilihan Kepala Desa Pasal 37 ayat 5. Pertanyaan yang mesti dijawab, apakah mekanisme penyelesaian perselisihan itu menggunakan forum ajudikasi sebagaimana layaknya sengketa pemilu/pilkada, atau hanya melalui mediasi, atau malah sepenuhnya ditentukan oleh Bupati/Walikota tanpa perlu memanggil para pihak. Jika merujuk pada Pasal 37 ayat 5, pengesahan Kepala Desa terpilih dituangkan dalam SK Bupati/Walikota, sehingga proses penyelesaian hukumnya bisa bermuara ke Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN. Daftar Isi Update terbaru 14 June 2016. Abstrak Pasca reformasi 1998, Indonesia mengalami perubahan sistem politik yang signifikan, diantaranya adalah sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis Politik Identitas dalam Pemilihan Kepala Desa. Metode dalam penelitian ini adalah deksriptif kualitatif. Fokus penelitiannya adalah Tingkat kepentingan politik Lokal etnisitas,Tingkat Intensitas isu Etnisitas dan Tingkat produksi isu etnisitas dalam proses kampanye. Teknik analisis dalam penelitian ini adalah model Interaktif Milles dan Habermans. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pemilihan kepala desa ada kepentingan politik lokal. Terlihat dari intervensi dan pengarahan massa untuk memilih pasangan tertentu. Tingkat intensitas isu etnisitas dalam pemilihan Kepala Desa Wederok berkaitan dengan dua hal yakni hakekat adat dan tuan tanah. Produk Isu Etnisitas berasal dari kelompok-kelompok kepentingan. Peneliti menyarankan Perlunya pendidikan politik bagi masyarakat, revitalisasi Adat sesuai dengan kebiasaan nenek moyang dan rekonsiliasi antara anggota Suku Ikumuan. To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the has not been able to resolve any citations for this R. Lau David RedlawskThis book attempts to redirect the field of voting behavior research by proposing a paradigm-shifting framework for studying voter decision making. An innovative experimental methodology is presented for getting inside the heads’ of citizens as they confront the overwhelming rush of information from modern presidential election campaigns. Four broad theoretically-defined types of decision strategies that voters employ to help decide which candidate to support are described and operationally-defined. Individual and campaign-related factors that lead voters to adopt one or another of these strategies are examined. Most importantly, this research proposes a new normative focus for the scientific study of voting behavior we should care about not just which candidate received the most votes, but also how many citizens voted correctly - that is, in accordance with their own fully-informed case study tests the significance of leadership, party identification, religious orientation, political economy, and sociological and demographic factors in the legislative and presidential choices of voters in the new Indonesian democracy. Data were obtained from four national opinion surveys conducted by the authors following parliamentary elections in 1999 and 2004 and the two-round presidential election in 2004. Bivariate and multivariate analyses of our data confirm the significance of leadership and party ID and the nonsignificance for the most part of other variables tested, including religious orientation, long the most popular explanation for the Indonesian J AbbasAbbas, Rusdi J. 2013. Demokrasi di Aras Politik Elit Lokal di Maluku Unified Theory of Party Competition A Cross-National Analysis Integrating Spatial and Behavioral Factors. Cambridges, Cambridges University Press Almond, Gabriel A dan Sidney VerbaJames F AdamsIii MerrillSamuel Dan GrofmanBernardAdams, James F., Merrill III, Samuel., dan Grofman, Bernard., 2005. A Unified Theory of Party Competition A Cross-National Analysis Integrating Spatial and Behavioral Factors. Cambridges, Cambridges University Press Almond, Gabriel A dan Sidney Verba. Politik, Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara terj SahatSimamora. Jakarta Bumi EtnisMenuju Politik IdentitasSri BuchariAstutiBuchari, Sri Astuti. 2014. Kebangkitan EtnisMenuju Politik Identitas. Jakarta Yayasan Obor DeniDeni, Aji. 2014. Politik Elit Lokal. Pemilu,Konflik dan Multikuturalisme. Yogyakarta NaufanPustaka Bekerjasama dengan Strukturasi Dasardasar Pembentukan Struktur Sosial MasyarakatAnthony GiddensGiddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi Dasardasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Yogyakarta Pustaka Etnik. Dinamika Politik Lokal di KendariSofyan SjafSjaf, Sofyan. 2014. Politik Etnik. Dinamika Politik Lokal di Kendari. Jakarta Yayasan Obor Indonesia.

slogan pemilihan kepala desa